
Era post-truth merupakan fenomena sosial dan politik yang ditandai oleh dominasi emosi dan keyakinan pribadi di atas fakta objektif. Istilah ini mendapatkan popularitas terutama sejak peristiwa-peristiwa besar seperti referendum Brexit di Inggris dan pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, di mana narasi yang tidak didasarkan pada fakta faktual tetapi lebih pada emosi publik mendapatkan pengaruh besar. Dalam konteks ini, jurnalistik memainkan peran krusial sebagai penjaga gerbang kebenaran dan agen penyaring informasi yang akurat di tengah badai hoaks dan misinformasi yang bertebaran melalui berbagai platform digital.
Hoaks dan misinformasi, dua bentuk penyimpangan informasi, berkembang pesat di era digital karena kemudahan distribusi dan konsumsi informasi melalui internet, khususnya media sosial. Jurnalis, sebagai aktor utama dalam menyampaikan berita dan informasi kepada publik, memiliki tanggung jawab untuk mengklarifikasi, memverifikasi, dan mengedukasi masyarakat agar tidak terjerumus dalam jebakan berita palsu.
Jurnalistik berfungsi sebagai penjaga kebenaran di tengah lanskap informasi yang semakin kacau. Di era digital yang didominasi oleh media sosial dan platform berbasis pengguna, jurnalis tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga bertindak sebagai pengontrol informasi yang benar dan akurat. Ada beberapa peran kunci yang dimainkan jurnalistik dalam menangkal hoaks dan misinformasi, yaitu:
1. Verifikasi Fakta (Fact-Checking)
Verifikasi fakta adalah salah satu elemen inti dalam praktik jurnalistik yang bertanggung jawab. Seiring dengan derasnya arus informasi yang datang dari berbagai sumber yang tidak terverifikasi, tugas utama jurnalis adalah memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya kepada publik. Organisasi berita terkemuka seperti BBC, The New York Times, dan bahkan platform lokal seperti Turnbackhoax.id di Indonesia telah menerapkan sistem verifikasi fakta yang ketat guna memastikan bahwa informasi yang dipublikasikan dapat dipercaya dan tidak menyesatkan.
Platform verifikasi fakta kini menjadi kebutuhan penting dalam dunia jurnalistik. Banyak media telah bekerja sama dengan platform-platform verifikasi seperti PolitiFact dan FactCheck.org untuk memastikan bahwa informasi yang sampai kepada masyarakat telah melalui proses pemeriksaan yang ketat.
2. Edukasi Publik tentang Literasi Media
Selain verifikasi fakta, jurnalis juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan literasi media di kalangan masyarakat. Literasi media mencakup kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi informasi dengan kritis. Masyarakat yang memiliki literasi media yang baik akan lebih mampu membedakan antara berita yang benar dan hoaks. Oleh karena itu, jurnalistik yang berkualitas harus menyediakan ruang untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya berpikir kritis terhadap sumber-sumber informasi yang mereka konsumsi.
Kampanye literasi digital yang digalakkan oleh media dan pemerintah sangat penting dalam menghadapi penyebaran hoaks. Jurnalis harus menjadi fasilitator dalam upaya ini dengan menciptakan konten edukatif yang mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam era di mana kepercayaan terhadap media sedang tergerus, jurnalis harus mempraktikkan transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat harus bisa menilai sumber informasi dan mengetahui proses pengumpulan berita. Jurnalistik yang akuntabel akan mempublikasikan sumber-sumber berita yang jelas, mencantumkan narasumber, dan menjelaskan metode verifikasi yang dilakukan. Ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama dan mengurangi ruang bagi hoaks untuk berkembang.
4. Jurnalistik Investigatif
Jurnalis juga harus berperan aktif dalam melakukan investigasi mendalam terhadap isu-isu yang sering menjadi sumber hoaks dan misinformasi. Jurnalistik investigatif memiliki kekuatan untuk mengungkap fakta-fakta tersembunyi di balik informasi yang menyesatkan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada publik. Dengan mendalami sumber-sumber informasi dan melakukan peliputan mendalam, jurnalis dapat membongkar motif di balik penyebaran hoaks, baik itu motif politik, ekonomi, atau sosial.
5. Kolaborasi dengan Platform Digital
Hoaks dan misinformasi sering kali menyebar melalui platform digital seperti media sosial. Untuk melawan penyebarannya, jurnalis perlu berkolaborasi dengan platform digital, termasuk media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube, yang telah mengembangkan algoritma dan sistem pelaporan untuk mendeteksi dan menghapus informasi yang salah. Kolaborasi ini diperlukan agar peran jurnalistik dalam menangkal hoaks dapat berjalan lebih efektif, terutama mengingat jangkauan dan kecepatan penyebaran informasi di media sosial yang sangat luas.